Selasa, 12 Mei 2015

Berlian itu adalah waktu mudamu, Anakku.



Berlian Yang Terlupakan

Alkisah, diceritakan bahwa seorang lelaki yang sangat miskin sekali sampai-sampai untuk memberi makan malam dirinya saja ia tidak mampu, padahal ia masih punya tanggungan anak dan istri yang harus diberi makan – sedang mengais mencari sisa-sisa makanan yang mungkin tercecer di jalan.
Secara tidak sengaja, pandanganya tertuju kepada sesuatu di sudut jalan yang ia pun tidak mengetahui apa sebenarnya sesuatu tersebut. Setelah ia mendekat, lalu mengambil sesuatu tersebut dengan tanganya, betapa terkejutnya ia bahwa yang ada di tanganya sekarang adalah berlian yang begitu indah. Dari setiap sikunya memancarkan cahaya. Setiap orang yang melihatnya pasti akan terpesona akan keindahan berlian tersebut.
Tanpa ragu dan dengan penuh rasa gembira, ia mengambil langkah seribu menuju toko perhiasan untuk menjual berlian tersebut, dengan harapan hasilnya dapat ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hidupnya dan keluarganya. Hal-hal indah terbayang sepanjang perjalananya. Harapan harapan besar tersirat dalam hatinya. Sebentar lagi ia akan membeli kemewahan tanpa peluh dengan berlian yang ada di tanganya.
Seakan berjalan di atas awan, tak terasa langkah kakinya telah sampai di depan toko perhiasan yang ia tuju. Dengan sejuta impian ia memasuki toko perhiasan tersebut
“Maaf mas, bisakah saya menjual berlian ini di sini?” tanyanya kepada si penjaga toko.
“Coba saya lihat sebentar,”jawab pengaga toko.
Setelah memperhatikan dengan penuh ketelitian penjaga toko berkata dengan nada terkejut,“subhanallah…!!! Ini sungguh berlian yang sangat tinggi harganya, kalau seandainya aku berikan seluruh isi tokoku kepadamu, niscaya tidak dapat menggantikan nilai berlian ini. Lebih baik mas pergi ke toko lain yang lebih besar dari pada toko saya yang tidak jauh dari sini, barang kali dia bisa membeikan harga yang setara dengan berlian ini”, kata si penjaga toko.
Dengan sedikit rasa kecewa ia meninggalkan toko tersebut. Tapi rasa putus asa tidak sedikitpun terbesit di hati kecilnya. Karena dalam fikiranya, mungkin penjaga toko itu tidak mau menerima berlianya karena takut membuat ia kecewa, di sebabkan nilai yang diberikan tidak sebanding dengan berlian yang ia miliki.
Perjalanan menggapai impian pun berlanjut hingga akhirnya ia sampai di toko ke dua. Lalu ia masuk kedalam toko tersebut dan melontarkan pertanyaan yang sama seperti di toko sebelumnya.
“Permisi mas, bisakah saya menjual berlian ini di sini?”, tanyanya kepada si penjaga toko yang kebetulan juga lelaki.
Lalu penjaga toko tersebut mengambil berlian itu dari tanganya.
Setelah penjaga toko memperhatikan berlian yang ia bawa penjaga toko tersebut juga terkejut,”masya Allah, dimana kamu menemukan berlian ini?”, tanya penjaga toko dengan ekspresi yang sama dengan penjaga toko pertama.
“Di jalan”, jawabnya ringan.
“Wah mas, kalau seandainya seluruh isi toko ini dan bahkan dua kali lipatnya saya berikan kepadamu niscaya tidak dapat menggantikan nilai berlian ini. Lebih baik mas pergi ke toko perhiasan di ujung jalan sana, itu adalah toko perhiasan terbersar di kota ini, mungkin dia bisa memberimu harga yang setara untuk berlian seindah ini,” kata penjaga toko kedua seraya memberi nasihat.
Untuk kedua kalinya perasaanya hancur. Benar-benar tidak semudah yang ia bayangkan. Demi menjual satu berlian saja ia harus berkeliling-keliling toko perhiasan. Lelah dan letih sudah bercampur aduk dengan angan.
Tapi meski demikian harapan dan impianya tidak putus di tengah jalan. Untuk kesekian kalinya ia gantungkan cita-cita kebahagianya di toko yang ke tiga. Dengan do’a terucap, semoga di toko yang ke tiga ini berlianya dapat terjual.
Sesampainya di toko ke tiga.
“Assalamua’alaikum pak, bisakah saya menjual berlian ini di sini?” dengan penuh harap ia lontarkan pertanyaan tersebut diringi runtutan do’a di hati.
Tapi apa yang terjadi?
Setelah ia lelah berjalan, tidak satu toko pun yang mau menerima berlian yang ada di tanganya. Jawaban yang ia dapat di toko ke tiga tidak jauh berbeda dengan jawaban di dua toko sebelumnya. Bahkan kata penjaga toko ke tiga, jikalau seandainya seluruh isi toko di berikan kepadanya di tambah tiga kali lipatnya lagi tetap tidak bisa menggantikan harga berlian yang ada padanya.
Lengkap sudah penderitaanya. Berjalan tanpa alas kaki dari satu toko ke toko lain. Di tambah suara perut yang kelaparan ditemani dengan hausnya kerongkongan, membuatnya semakin putus asa. Ia hanya bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa tidak ada satu toko pun yang mau menerima berlianya ini. Hilang sudah prasangka baik yang ada dalam hatinya. Yang ada hanya tanda tanya yang berkumul tak teratur dalam otaknya.
Lalu dari toko ke tiga ia dianjurkan untuk datang kepada raja, mungkin raja bisa menggantikan harga berlian yang ia temukan di jalan dengan harga yang setara. Untuk terakhir kalinya ia gantungkan impianya kepada sang raja. Dengan harapan semoga raja bisa memberikan kepadanya harga yang setara dengan berlian yang ia bawa.
Langkahnya menuju kekerajaan, tidak selincah ketika ia berjalan ke toko pertama. Harapan yang menjadi citanya tidak sebesar anganya ketika pertama kali ia menemukan berlian tersebut. Hingga akhirnya langkanya pun sampai di gerbang kerajaan.
Di depan gerbang kerajaan, telah berdiri dua orang pejaga gerbang yang berbadan besar. Dengan santun ia utarakan maksud dan tujuanya datang kekerajaan. Sesudah mengetahui maksud dan tujuanya, dua orang penjaga gerbang kerajaan itupun mengizinkanya masuk menemui raja.
Setelah lama ia menunggu, akhirnya sang raja pun keluar dari kamarnya yang mewah.
Dengan tutur kata yang diatur sedemikian indah, ia utarakan maksud dan tujuanya menemui paduka raja. Ia ceritakan kisah perjalananya secara singkat hingga akhirnya bisa sampai ke kerajaan yang begitu megah.
Selesai ia bercerita, dari dalam sakunya ia tunjukkan berlian yang ia bawa ke pada paduka raja.
Lalu raja mengambil berlian tersebut dengan tanganya.
Cukup lama raja memerhatikan berlian tersebut hingga akhirnya berkata,” wahai pemuda, berlian ini sungguh tidak ternilai harganya, jikalau seluruh isi kerajaan ini ku berikan kepadamu nisacaya tetap tidak akan bisa menggantikanya, dimana engkau menemukan berlian ini?”, seraya menyambung perkataanya dengan pertanyaan.
“Di jalan raja”, jawabnya tunduk kepada raja.
“Di jalan?”, tanya raja balik dengan nada sedikit terkejut.
“Betul raja”, jawabnya lagi.
Lalu raja meneruskan pembicaraanya,“ sungguh engkau orang yang beruntung wahai pemuda. Begini saja, bagaimana kalau sebagai gantinya akan ku berikan kepadamu kunci gudang hartaku, dan kamu ku beri waktu selama sepuluh jam untuk mengambil apa saja yang kamu sukai dan sebanyak yang kau mau dari hartaku sebagai ganti dari berlian ini?”
“sungguh raja?”, tanyanya balik
“Iya, sungguh, kalau enggaku mau, sekarang juga pembantuku bisa mengantarmu ke gudang harta ku yang berada tepat di belakang kerajaan ini”, jawab raja memastikan keraguan lelaki miskin tersebut.
Betapa bahagianya ia sekarang, seakan memukan kembali lilin kehidupanya yang hampir padam untuk selamanya. Anganya kembali berkelana menelusuri setiap inci impian-impian indah yang ia miliki. Semangatnya kembali bangkit tegak bak gunung batu di dataran Yaman yang selalu sigap di terpa badai. Prasangka buruk atas berlian itu sirna dalam sekejap.
Dengan di antar oleh pembantu raja, ia melangkah menuju gudang tempat harta benda sang raja di simpan. Tanpa terlewatkan oleh pandangan matanya, setiap sudut kerajaan ia lalui dengan rasa kagum. Sungguh ia terheran-heran dengan kemewahan yang ada di dalam kerajaan.
Bagaikan orang yang baru terjaga dari mimpi indah, tanpa terasa di hadapanya sudah berdiri angkuh pintu gudang harta sang raja. Pintu yang begitu megah menggambarkan kemewahan ruangan di balik pintu tersebut.
Perlahan pintu gudang di buka.
“Krek..!! hawa sejuk bersanding dengan aroma wewangian menghempas tubuhnya dengan lembut seketika pintu gudang terbuka. Perlahan ia melangkah masuk. Dan lebih takjub lagi ia setelah benar-benar berada di dalam. Sungguh pemandangan yang belum sama sekali pernah ia lihat. Emas, intan, berlian, semuanya tersusun rapi. Cawan air terbuat dari kristal seakan duduk manis di hadapanya, menunggu anggur segar akan dituanggan di dalamnya. Berbagai macam jenis makanan dan buah-buahan dengan aroma yang sangat menggoda, sudah terhidang di hadapanya.
Tapi sangat di sayangkan, mungkin karena terlalu lama ia hidup dalam kemiskinan sehingga ia tidak tau bagaimana bergaul dengan kemewahan Terlalu lama ia menyelami kelalaian tanpa kerja keras, sehingga ia tidak tau bagaimana menyikapi kesempatan.
Dalam ketakjubanya yang bodoh terbesit dalam pikiranya, untuk membagi waktunya yang sepuluh jam. Satu jam ia gunakan untuk mencicipi segala hidangan yang ada dan menikmati nikmatnya kehidupan kerajaan. Dan sisanya sembilan jam ia gunakan untuk mengambil seluruh harta raja yang ia inginkan. Karena dalam pikiranya Sembilan jam sudah lebih dari cukup untuk mengambil harta raja yang ia inginkan.
Detik demi detik waktu pun berjalan. Ia mencicipi satu persatu hidangan yang ada. Setelah kenyang dengan makanan, ia menuju lemari es yang sangat besar dimana tersimpan berbagai macam minuman di dalamnya. Tanpa terlewatkan satu pun, ia cicipi seluruh minuman yang ada di lemari es tersebut. Sampai-sampai tak terasa dua jam telah berlalu, sungguh di luar dari yang ia rencanakan.
Tapi sayangnya, dalam kelalaian, kebodohanya kembali berargumen, delapan jam juga lebih dari cukup untuk merampungkan semua rencananya.
Setelah lambungya penuh dengan berbagai macam makanan dan minuman, otak bebalnya berusaha berkolaborasi dengan ide yang mungkin ia anggap cemerlang tapi sebenarnya hanya berakhir dengan isapan jempol.
Dari waktunya yang hanya tinggal delapan jam, dua jamnya ingin ia gunakan untuk terbang ke alam mimpi dengan beralaskan permadani yang sangat lembut. Sebab ia merasa terlalu lelah dan ingin memanjakan tubuhnya sejenak, sembari mengumpulkan tenaga. Hawa sejuk istana dengan aromanya yang wangi pun mempercepat penerbanganya ke alam mimpi.
Satu jam, dua jam, tiga jam, empat jam, lima jam telah berlalu, dan amat sangat di sayangkan di jam terakhir jam ke enam ia juga belum bangun dari tidurnya. Sampai akhirnya habis lah waktu sepuluh jam ia lalui di dalam gudang harta sang raja.
Lalu kemudian.
“Hai orang miskin…..!!! bangun…!!! Bangun…!!! Waktumu sudah habis,” hardik pembantu raja membuatnya terjaga. Tapi ia masih setengah sadar karena tidurnya terlalu nyenyak.
“Ayo bangun, waktumu sudah habis. Sudah sepuluh jam kamu di sini,” tegas si pembantu raja.
Akhirnya ia sadar juga dari tidurnya, tak terasa enam jam telah ia lalui dengan tertidur. Pengembaraanya yang indah ke alam mimpi, membuat ia mengembara ke dalam penyesalan terdalam dalam dirinya. Penyesalan karena ia akan kembali hidup sengsara seperti sedia kala.
“Wahai tuan!!!! tolong berikan saya waktu 15 menit saja untuk saya mengambil harta raja secukupnya,” katanya memohon kepada pembantu raja.
“Tidak bisa,” jawabnya tegas.
“Kalau lima menit bagai mana?” pintanya lagi.
“Tetap tidak bisa, walau sedetik pun niscaya tidak akan aku berikan, raja telah bermurah hati memberikan 10 jam kepadamu. Kalau kamu belum mengambil harta raja sedikitpun, itu salahanmu. Sekarang mana yang engkau pilih, ingin keluar dari kerajaan ini secara terhormat, atau ku seret kau keluar dengan paksa?” kata si pembantu raja dengan tegas.
Dengan wajah putus harapan dan tubuh lunglai seakan tak bertulang keluarlah ia dari kerajaan. Berlian yang begitu berharga, yang nilainya tidak dapat di gantikan oleh penjaga toko pertama, kedua dan ketiga, bahkan oleh raja sekali pun, hanya ia ganti dengan makanan, yang setelah dua jam kemudian mungkin ia akan merasa lapar lagi. Dengan minuman, yang mungkin setelah keluar dari kerajaan ia akan merasa kehausan lagi. Dan dengan tidur, yang pasti di keesokan harinya ia akan tidur lagi.
Waktu yang raja berikan kepadanya ia sia siakan begitu saja, tanpa ada bekasnya sedikit pun. Dan akhirnya, ia pun kembali miskin seperti sedia kala.


Dari cerita di atas, sadarkah kita siapa sebenarnya lelaki yang menemukan berlian berharga tersebut? Yang mana semua orang bahkan sampai raja sekalipun tidak bisa menggantikanya.
Tanpa kita sadari, lelaki tersebut adalah saya, Anda, dan kita semua yang hidup di dunia ini.
Berlian yang berharga itu adalah usia yang kita miliki, yang tidak seorang pun dapat menggantikanya dengan harta berapa pun jumlahnya.
Raja yang berperan di atas adalah Allah SWT yang telah memberikan kita waktu di dunia ini untuk menimba amal, menjadikan dunia ini ladang bercocok tanam kebaikan untuk bekal kita di akhirat. Dan menjadikan setiap amalan dengan ganjaranya yang berlipat lipat.
Tapi memang mungkin kita yang kurang menyadari akan nikmat yang telah Allah SWT berikan. Kita yang telah terlena dengan gemerlapnya dunia sehingga lupa kemana tujuan kita sebenarnya. Kita telah menyia-nyiakan waktu yang Allah berikan dengan hal-hal tidak berguna seperti yang di lakukan lelaki miskin tersebut yang mana seharusnya ia bergegas ketika kesempatan itu masih lapang.
Dan pembantu raja itu adalah Izrail, sang malaikat pencabut nyawa. Jika batasan waktu hidup kita telah habis, maka ia tidak akan menunda walau sedetikpun. Ia tidak akan memberikan kita kesempatan walaupun satu kata taubat. Dan ketika nafas sudah sampai di kerongkongan maka ketika itu diliperlihatkan di mana tempat duduk kita di akhirat, di surga kah? Atau nerakakah? Mari sama-sama kita berlindung kepada Allah agar di jauhkan darinya dan siksanya.
Akhirul kalam semoga Allah SWT memberi kita kekuatan untuk tetap beristiqomah di jalanya, menjalankan syari’at-Nya dan menjauhi laranga-Nya. Dan menjadikan kita bagian dari orang-orang yang berkata dan mengamalkan perkataanya, bukan menjadikan kita bagian dari orang miskin yang melalaikan kesempatan. Dengan harapan besar rahmat, taufik dan hidayah-Nya selalu tercurah kepada kita di dunia dan di akhirat.

Cerita di atas saya merupakan bagian dari ceramah dosen Fak. Syariah wal Qonun Universitas Al-Ahgaff, Yaman,(Al-Ustadz Bahamis) yang saya mencoba menerjemahkanya ke Bahasa Indonesia dalam bentuk cerpen. Mohon maaf kalau banyak salahnya, yang penting bukan ceritanya, tapi hikmah di balik cerita itu. Yaitu agar kita selalu memanfaatkan kesempatan yang Allah SWT berikan sebaik2nya.
Ushii nafsii wa iyyakum bitaqwallah………

(From Sahabatku, Muhammad Fikry Yazid yang sedang menimba ilmu di Hadramaut) thanks for copas notesnya.....


Kamis, 16 April 2015

upo sitok cethol sithok




 Pesan dari Gus Achmad Shampthon Masduqi tentang Adab Makan.



 Dulu dikeluarga kami ada istilah "potokcetok" upo sitok cethol sithok, sebagai ancaman dari Abah kalau putra-putri tidak menghabiskan makanan akan dicubit, setiap butir nasi satu cubitan. setiap kali mengambil nasi abah umi selalu memperhatikan, kalau kebanyakan selalu ditegur, "kau boleh nambah berapapun, tapi ambil sedikit2, jangan tamak"

Dalam kesempatan pengajian : Habib Sholeh Ibn Ahmad Ibn Salim Alaydrus beliau menyatakan: "sebutir nasi yang kau sia-siakan, jangan dianggap enteng, Allah akan menuntut hisabnya mengapa kau sia-siakan."
Tadi malam, saya mendapat kiriman via whatsapp catatan seperti ini :

Copas dari tetangga Facebook: Jerman adalah sebuah negara industri terkemuka. Di negara seperti ini, byk yg mengira warganya hidup foya2. Ketika saya tiba di Hamburg, saya bersama rekan-rekan masuk ke restoran. Kami lihat banyak meja kosong. Ada satu meja dimana sepasang anak muda sedang makan. Hanya ada 2 piring makanan dan 2 kaleng minuman di meja mereka. Saya bertanya dalam hati apa hidangan yang begitu simple dpt disebut romantis dan apa si gadis akan meninggalkan si pemuda kikir tersebut? Kemudian ada lagi beberapa wanita tua di meja lainnya. Ketika makanan dihidangkan, pelayan membagi makanan tersebut dan mereka menghabiskan tiap butir makanan yg ada di piring mereka. Karena kami lapar, rekan kami pesan lebih banyak makanan. Saat selesai, tersisa kira-kira sepertiganya yg tidak dapat kami habiskan di meja. Begitu kami hendak meninggalkan restoran, wanita tua yang dari meja sebelah berbicara pada kami dalam bhs Inggris, kami dan teman-teman paham bahwa mereka tidak senang kami me-mubazir-kan makanan, lalu temanku berkata kepada wanita tua itu : "Kami yang bayar kok, bukan urusan kalian, berapa banyak makanan yg tersisa", Wanita-wanita itu meradang. Salah satunya segera mengeluarkan HP dan menelpon seseorang, sebentar kemudian seorang lelaki berseragam Sekuritas Sosial pun tiba. Setelah mendengar tentang sumber masalah pertengkaran, ia menerbitkan surat denda Euro 50 (kira2 denda Rp. 750.000) pada kami. Kami semua terdiam.. Petugas berseragam tersebut berkata dengan suara yg galak, :“PESAN HANYA YANG SANGGUP ANDA MAKAN, UANG ITU MILIKMU TAPI SUMBER DAYA ALAM INI MILIK BERSAMA. ADA BANYAK ORANG LAIN DI DUNIA YANG KEKURANGAN. KALIAN TIDAK PUNYA ALASAN UNTUK MENSIA-SIAKAN SUMBER DAYA ALAM TERSEBUT.” Pola pikir dari masyarakat di negara makmur tersebut membuat kami semua malu bener, KAMI SUNGGUH HARUS MERENUNGKAN HAL INI. Kita ini dari negara yang tidak makmur-makmur amat. Untuk gengsi, kita sering pesan banyak dan sering berlebihan saat menjamu orang. PELAJARAN INI MENGAJARI KITA UNTUK SERIUS MENGUBAH KEBIASAAN BURUK KITA. “MONEY IS YOURS BUT RESOURCES BELONG TO THE SOCIETY.” Jadi kawan-kawan, mari mulai mengurangi pemubadziran, karena "uang memang milikmu, tapi ... " sumber daya alam itu milik bersama
KITA BISA MEMILIH, MENGGUNAKAN ALASAN AGAMA ATAU RASIO YANG PASTI KESIMPULANNYA SAMA... "JANGAN TAMAK, AMBIL YANG KAU MAMPU HABISKAN SAJA"

Minggu, 11 Agustus 2013

KETIKA SETAN MENGANGGUR




Ketika Setan Menganggur

Cerpen Tri Wibowo BS

Iblis, maharaja setan dan penguasa kegelapan itu, duduk dengan masygul di singgasananya yang megah dan berukuran raksasa. Ia bertopang dagu dengan tangan kirinya, bersandar di singgasana yang terbuat dari permata bening yang dihiasi dengan manik-manik intan berwarna-wani. Tiap-tiap warnanya bersinar tajam, tapi dingin, memancar ke depan. Di atas singgasananya adalah kubah biru langit yang berasap merah. Di tengahnya terdapat bola sebesar matahari, dan sorot cahanya mengelilingi singgasana. Di bawahnya adalah air yang bening seperti kristal yang mengalir tiada henti. Air itu berasap, tapi bukan karena mendidih. Singgasana Iblis melayang di atasnya. Sementara itu tangan kanannya memegang tongkat kekaisarannya yang terbuat dari batu zafir. Sudah ratusan tahun sang raja duduk diam saja; matanya kosong dan mukanya beku. Rambutnya yang panjang terurai sedang disisiri oleh dayang-dayangnya. Tampak kelam kulit sang maharaja, menandakan hatinya sedang gelisah. Semua yang hadir diam. Suasana istana itu demikian sunyi, tak satupun berani mengangkat suara. Para patih dan punggawa kerajaan duduk bersimpuh di balairung istana yang seluas bumi itu, menunggu kebisuan ini cair. Sementara itu diluar istana, para setan yang bukan dari golongan bangsawan istana duduk menganggur saja di jalan-jalan; berbaring di rumahnya, atau tertidur di kamar masing-masing membekap pasangan mereka; ada yang bercinta; tapi ada juga yang tak peduli pada situasi, keluyuran kesana kemari bersiul-siul. Satu hal yang jelas, semuanya tidak bekerja, menganggur! Penantian lama itu akhirnya berakhir sudah. Tiba-tiba maharaja Iblis bergumam, pelan, tapi terdengar sampai ke seluruh pelosok balairung yang seluas bumi itu.

“Kita harus berbuat sesuatu..”

“Apa itu paduka mulia? Haruskah kita mendemo Tuhan yang, menurut hemat hamba, membuat keadaan jadi begini?” tanya setan panglima.

“Kita tak akan mendemo Tuhan. Aku tahu betul sifat-sifat-Nya; dan lagipula aku masih mencintai-Nya. Dulu aku menginginkan penyatuan dengan-Nya, tapi Dia menginginkan perpisahan. Dia tugaskan aku untuk menyesatkan manusia. Jadi demikianlah tugas kita. Kejahatan adalah sumber rezeki kita yang dianugerahkan Tuhan kepada kita hingga kita makmur begini. Jadi Tuhan tak keliru dalam persoalan kita sekarang ini.”

“Lalu bagaimana?” tanya seorang petinggi istana. Tapi mendadak maharaja diam. Maka para punggawa dan pembesar istana iblis itu pun terpaksa menyimpan rasa penasaran mereka kembali. Setelah sewindu diam merenung, maharaja mulai berbicara lagi:

“Kalian tahu, kerajaan kita semakin miskin dan diambang keterpurukan. Lapangan kerja kita diserobot orang. Mereka yang seharusnya menjadi obyek kerja kita kini mengambil alih tugas-tugas kita. Lihatlah di luar, banyak rakyat kita tak punya kegiatan lagi.”

Memang demikianlah keadaannya. Semakin tua usia bumi semakin susut lapangan kerja buat para setan. Para manusia sudah pintar mengerjakan tugas-tugas setan, sehingga tak perlu lagi mereka dihasut-hasut atau digoda dan disesatkan. Manusia sudah otonom dan canggih dalam mengerjakan pekerjaan setan. Kini hanya setan-setan ahli saja yang masih mampu bekerja di era persaingan yang semakin ketat. Persaingan kerja? Ya, dikalangan setan sudah lama muncul persaingan mendapatkan pekerjaan karena semakin terbatasnya lapangan kerja. Jumlah manusia baik-baik yang dipanggil oleh Tuhan semakin banyak, sementara manusia baik-baik penggantinya semakin sedikit. Jadi di sini berlaku juga hukum ekonomi. Terlalu banyak pasokan tenaga kerja, tapi lapangan kerja susut. Maka terjadilah seleksi. Para setan yang lulus tes seleksi penempatan sajalah yang mendapatkan tugas. Tim penyeleksi ini adalah Komite Seleksi Penempatan Setan yang dipimpin oleh wakil maharaja Iblis, yang tak lain adalah anaknya yang pertama.
“Maka dari itu,” Maharaja meneruskan bicaranya, “kita harus berbuat sesuatu terhadap manusia ini, sesuatu yang radikal!” Dan balairung itu kini tiba-tiba seperti menjadi sarang tawon. Semuanya saling berbicara satu sama lain menanggapi ucapan maharaja ini. Terjadi beberapa debat kusir di antara mereka sendiri. Lalu tampillah tokoh setan yang dihormati. Namanya Azazil, anak maharaja, meski sesungguhnya ini adalah nama lain dari maharaja. Tetapi maharaja iblis berkenan memberikan namanya untuk dipakai anaknya lantaran ia terkenal karena keluasan wawasan dan pandangan dan kecerdasannya. Dia berdiri lalu menepukkan kedua tangannya, memberi isyarat agar para hadirin diam. Suara tepukannya bergema hingga ke seantero kerajaan Iblis yang seluas bumi itu. Pelan-pelan dengungan suara itu buyar lalu hening sama sekali. Angin dingin pun berhembus ketika dia berjalan ke depan maharaja. Setelah memberi hormat, ia membalikkan badannya, menghadap para hadirin, juga memberi salam. Lalu kembali membalikkan badannya menghadap baginda Iblis.

“Yang mulia. Kita menghadapi keadaan genting. Diperlukan rencana masak-masak sebelum bertindak. Bertindak itu mudah, tapi bukan itu tujuannya. Tujuan kita adalah mendapatkan hak kita kembali, hak untuk menanamkan inisiatif atau memprovokasi kejahatan. Dan pekerjaan kita itu kini sudah tak dibutuhkan lagi oleh manusia. Mereka sudah kreatif dan inovatif; tak perlu lagi bisikan jahat kita. Pertanyaannya adalah kenapa bisa jadi begini?” Terdengar gumaman beberapa setan, lalu sepi lagi.

“Teruskan,” kata maharaja, dingin.

“Ini adalah kesalahan kita sendiri…” katanya pelan tapi tegas dengan memberi tekanan pada suku katanya satu per satu. Kembali balairung yang seluas bumi itu ribut. Maharaja mengangkat tangannya, dan para hadirin pun kembali tenang.

“Tolong jelaskan,” titah maharaja.

“Jadi saya ulangi, ini adalah kesalahan kita. Kita terlalu bernafsu untuk menyesatkan cucu Adam, agar mereka menemani kita di kerak neraka Jahanam. Sejak anak-anak Adam lahir dari rahim ibunya, kita meletakkan telur-telur kita di hati mereka. Dan anak-anak kita tumbuh dewasa bersama orang yang dia tempati. Kita didik anak-anak kita soal kejahatan dan cara-cara menyesatkan manusia melalui teknologi kita, yang kini dibajak manusia. Tapi kita lupa memperhitungkan efeknya. Teknologi ini mudah disadap. Ajaran-ajaran kita ternyata disadap oleh orang-orang jahat didikan kita terdahulu. Lalu mereka menuliskannya menjadi isme-isme atau ideologi mereka sendiri. Akibatnya apa? Ajaran kita tak lagi istimewa karena tak ada lagi misteri di sana. Coba maharaja bandingkan dengan ajaran kitab-kitab suci yang ada. Semuanya mengandung misteri sehingga manusia terus-menerus mencari mutiara kandungannya dan patuh kepadanya namun tetap tak berhasil menguasai kandungan ajarannya secara total. Tapi ajaran kejahatan kita sudah mereka kuasai substansi dan intinya. Kita terlalu vulgar dalam menyampaikan ajaran kita. Akibatnya mereka bisa mengembangkan sendiri bentuk-bentuk kejahatan atas dasar prinsip itu. Mereka ternyata lebih kreatif ketimbang kita.”

“Interupsi Yang Mulia!” teriak salah satu pejabat setan, yang telinganya sebesar gunung.

“Silahkan”

“Saya kira kesalahan kita tak separah yang dikatakan tuan Azazil. Saya tak sepakat bahwa anak-anak Adam lebih kreatif daripada kita. Bagaimanapun juga kitalah yang mengajari mereka kejahatan. Kitalah yang pertama kali mengajari Habil dan Qabil membunuh. Jadi golongan setan jauh lebih unggul daripada manusia. Maka soal kreativitas kita tak kalah karena kita adalah, katakanlah, pihak penemu. Jadi…” Tapi belum sempat dia melanjutkan, ada setan lain, berkepala gundul, menyela: “Ah, kau itu hanya mengulang-ulang retorika lama! Tuan Azazil betul. Buktinya, kita bahkan terkejut melihat cara manusia berbuat kejahatan. Teknik kejahatan mereka tak pernah kita bayangkan!”

“Kau tolol!” sergah setan yang berbicara tadi.

“Jika pola pikir kita demikian, itu artinya kita minder. Kita ini makhluk yang terkenal karena kesombongan kita. Sungguh memalukan jika kita mengakui keunggulan manusia. Untuk apa dulu maharaja menolak sujud pada Adam kalau sekarang kita mengakui keunggulan manusia!” Maka ramailah balairung yang seluas bumi itu. Ada hadirin yang tampaknya menyetujui pendapat setan bertelinga sebesar gunung ini. Tapi ada juga yang berpandangan pro setan gundul. Lalu ada beberapa setan berdiri ke depan untuk mengemukakan protesnya dan mengajukan pendapatnya. Tapi dia dihalang-halangi oleh setan yang menentangnya, yang juga bermaksud sama. Maka terjadilah aksi saling dorong dan pukul. Terdengarlah ramai seruan-seruan:

“Kita bukan budak manusia! Hancurkan manusia! Hidup Setan Sombong!” Maharaja hanya diam memandang saja. Ia sedang berpikir keras rupanya. Azazil angkat bicara:

“Tenang saudara sekalian, Tak usah kita ribut dan norak begini. Jika kalian merasa lebih tinggi dari manusia, mengapa kalian malah meniru-niru cara manusia dalam bedebat?” Para setan yang congkak itu tersadar, dan rupanya merasa malu karena mereka ikut-ikutan cara manusia yang mereka anggap lebih rendah statusnya itu. Prinsip kesombongan membuat mereka akur kembali. Azazil melanjutkan, “Kedua pandangan itu betul. Tapi kita lupa satu hal. Kalian kan tahu alasan Tuhan menyuruh kita sujud kepadanya. Mari kita ingat kembali; alasannya adalah karena Adam diajari Tuhan dan lebih sempurna daripada kita. Tapi, maaf baginda Iblis, ketika itu Yang Mulia tak mau kan, karena kita dari api dan tentunya lebih unggul. Tapi kini Tuhan telah memperlihatkan kepada kita bahwa keputusan-Nya untuk menyuruh kita sujud kepada Adam adalah benar dan sah!” Kalimat terakhir ini diucapkannya dengan intonasi keras dan tegas.

“Pertanggungjawabkan ucapanmu!” teriak setan berkepala tiga yang berada di baris ketiga dari depan. Ia adalah anggota Tim Seleksi dan tampaknya marah betul mendengar perkataan Azazil.

“Kau menghujat baginda! Itu sama saja kau menganggap baginda maharaja bodoh! Pengkhianat, Pancung saja dia!” teriak anak Iblis lainnya, yang sejak tadi diam. Dia ini sudah lama membencinya karena dia tak mampu menandingi kecerdasan Azazil. Namanya adalah Batilun.

“Kita punya semboyan yang diucapkan oleh baginda maharaja sejak masa azali yakni: Aku lebih baik daripadanya! Dan ini bahkan sudah dicantumkan dalam kitab suci oleh Tuhan sebagai tanda identitas kita, ideologi kita, falsafah dasar kita. Kalau kita mengakui keunggulan Adam, berarti kita mengkhianati prinsip ini. Kita tak lagi menjadi setan kalau begitu caranya!” Maka ramailah lagi balairung yang seluas bumi itu. Kini perdebatan itu tak lagi membahas nasib rakyat setan yang sudah lama menganggur. Perdebatan itu kini berbelok ke soal ideologi dan autentisitas diri golongan setan. Ini memang soal krusial, sama krusialnya dengan persoalan pengangguran, sebab ini menyangkut eksistensi. Tapi maharaja masih diam membisu, hanya sekali-kali dia mengusap dahinya dan memutar-mutar tongkatnya. Asap dari bawah singgasananya semakin banyak, meski tak sampai menutupi kemegahan singgasananya.

“Baik, aku akan jelaskan.” Sergah Azazil, yang tampaknya mulai mendongkol karena disebut pengkhianat.

“Api memang lebih unggul daripada tanah. Tapi kita lupa dalam hal lain ia jauh lebih hebat. Ia mempunyai akal yang membuat dirinya demikian kreatif, sehingga mampu menyerap ajaran kejahatan kita demikian sempurnanya lalu mengembangkannya. Jika manusia jadi jahat, kejahatannya bisa jadi luar biasa hingga lebih dahsyat dari pada kita. Jika dia jadi baik, kebaikannya demikian dahsyatnya hingga dia melampaui malaikat. Potensi sampai ke titik ekstrim inilah yang membuat manusia jadi lebih unggul daripada kita. Ini bukan berarti saya mengatakan baginda tidak tahu akan hal ini saat dulu disuruh sujud.”

Batilun membalas: “Tapi bagaimanapun juga eksistensi kita tetap lebih unggul. Eksistensi adalah segala-galanya. Apalah artinya kecerdasan dan potensi-potensi jika tak ada eksistensi yang merealisasikannya. Kalau kita tidak ditakdirkan hanya memanggul satu tugas, yakni menyeru pada kejahatan saja, aku yakin kita akan jauh lebih dahsyat ketimbang manusia. Bukankah baginda dulu adalah pemimpin para malaikat? Itu artinya kita juga punya kemungkinan untuk menjadi lebih tinggi daripada malaikat Nah, sekarang apa kita mau mengubah takdir kita? Bagaimana kalau kita mengganti sendiri peran kita. Bagaimana kalau kita ramai-ramai beribadah lagi seperti dulu, seperti ketika Adam belum diciptakan? Abaikan saja Adam! Bisakah kita?”

“Tidak bisa!” hampir serempak para setan menjawab. Suaranya demikian gemuruh sampai terdengar ke kerajaan malaikat. Para malaikat yang sedang beribadah sempat terkejut. Tetapi mereka lalu tenggelam lagi dalam tugas-tugasnya. Kelakuan setan dari dulu memang aneh-aneh, jadi tak perlu diperhatikan, begitu pikir mereka.

“Nah, kalau begitu, kembali pada persoalan pengangguran, kita tak perlu minder. Kita hanya perlu merubah strategi kita.” tukas Batilun bersemangat.

“Sama saja,” bantah Azazil, mulai panas, merasa tersaingi.

“Strategi apapun sudah kita jalankan, tapi tetap saja kreativitas kejahatan manusia sulit kita tandingi.”

“Ah, kau hanya malas berpikir saja,” ejek Batilun.

“Hm, kalau begitu coba jelaskan strategimu kalau kau pintar!” kata Azazil, mukanya merah.

“Lho bukankah itu yang akan kita bahas? Kau tahu, kau sendiri malah melemahkan semangat kita semua dengan ucapanmu di awal pertemuan ini. Nah, aku disini bicara untuk mengembalikan semangat kita!” Batilun berkata, wajahnya tampak pongah, merasa di atas angin.

“Hei, aku tak melemahkan semangat! Aku memberi pertimbangan dan …” Belum selesai Azazil berkata, maharaja Iblis mendehem dan mengangkat tangannya.

“Cukup!” suaranya dingin dan tegas. Kini balairung seluas bumi itu mulai tenang kembali. Mereka menunggu apa yang akan dikatakan maharaja.

“Kita memang keliru. Kita tak memperhitungkan kecerdasan manusia. Tapi Batilun juga benar. Kita perlu strategi baru. Dari perdebatan tadi ada satu persoalan yang akan kita jadikan titik masuk. Soal orang jahat yang makin banyak dan makin lihai dan licik. Mereka ini sudah terlalu banyak dan sebagian besar memegang kekuasaan politik dan ekonomi. Karena merekalah ajaran dan teknik kejahatan menjadi canggih. Jadi, yang harus kita lakukan adalah membantai dan membasmi begundal-begundal tengik itu.”
Gemparlah seisi balairung yang seluas bumi itu. Ini rencana luar biasa aneh! Raja kembali melanjutkan ucapannya: “Kita stop dulu menggoda orang-orang baik. Kita tumbuh suburkan orang-orang baik dan suci, sumber lapangan kerja kita. Nah, jika pentolan orang jahat sudah kita binasakan sampai ke akar-akarnya, langkah selanjutnya adalah membuat orang melupakan ajaran kejahatan dengan cara mempropagandakan kebaikan. Telur-telur kita jangan ditetaskan di dalam hati manusia, tapi di hati hewan-hewan saja. Kita didik anak cucu kita. Kelak jika orang baik tambah banyak dan kejahatan surut, baru kita bergerak mengambil kembali apa yang menjadi hak kita, yaitu kejahatan. Ini tak akan memakan waktu lama jika pentolan orang jahat segera kita bantai.”

“Yang mulia, bagaimana kita mesti membantainya? Apakah kita langsung saja turun tangan?” tanya panglima setan yang bermata tiga belas.

“Rasanya memang begitu.” Gegerlah seluruh balairung seluas bumi itu. Ini adalah keputusan radikal. Rencana gila! Setan turun tangan langsung membantai orang-orang jahat? Gagasan macam apa pula ini. Tapi keputusan sudah ditetapkan. Pengumuman di pasang di mana-mana. Para setan bersiaga penuh. Mereka yang sudah lama menganggur tanpa ragu mendukung rencana ini. Bermilyar-milyar setan siap dengan senjata di tangan, berbaris menunggu di gerbang antar dimensi yang menuju ke dunia manusia. Keadaan ditetapkan siaga perang. Baru kali ini Iblis memerangi kejahatan demi menegakkan kejahatan. Sungguh Iblis telah dipermalukan manusia. karena tak lagi superior dalam kejahatan. Manusia sudah menyainginya, dan bahkan sudah mulai mengungguli mereka.! Suasana alam menjadi gelap gulita. Awan hitam berarak, petir menyambar-nyambar, angin menderu-deru membawa hawa kematian. Darah-darah pembantaian sejak Habil dan Qabil dikumpulkan para setan dalam sebuah belanga yang besarnya menyamai langit dan bumi. Darah-darah manusia itu dimasak lalu diminumkan pada para setan. Kerajaan setan bergetar dahsyat, angin membadai dan petir mengguntur, asap berkepul tebal, terompet perang berdengung, debu-debu berhamburan, tanah merekah, langit terbelah, ketika maharaja, dengan pakaian perangnya yang mengerikan, berjalan di depan rakyatnya. Sorot matanya berkobar seperti api. Hawa panas berhembus mengiringi langkahnya. Langit dan bumi terkejut, dan gemetar.

Malaikat terperangah! Ada apa gerangan? Kenapa maharaja Iblis mengenakan baju perangnya? Apakah setan-setan itu hendak menyerbu kerajaan malaikat? Mereka tak tahu. Jibril bertanya-tanya, lalu terbang menemui Tuhan. Sementara itu manusia masih asyik dengan kehidupannya. Tapi seorang lelaki tua di ujung jalan di kaki gunung itu tampak sedih ketika melihat ke langit. Sejenak memejamkan matanya; lalu dengan lirih bergumam: “Gelap berlapis-lapis. Gelap berlapis-lapis.” Setelah itu sepi. Tak ada suara. Hanya angin bertiup menyapu debu jalanan. Tak terdengar apa-apa. Dunia menanti sebuah perang baru, yang sangat dahsyat.

TRIWIBS