Minggu, 28 Juli 2013

Kejang kedua



Kejang kedua
9 Desember 2012

Malam itu kisaran pukul 04.00, selepas sholat subuh kudengar keluhan dari istriku tentang tangan kirinya yang nggak terkontrol.

“Mas…maaaas tanganku, maaaas tanganku”, sambil mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi.
Segera kususul ternyata dia sudah mulai menggelepar dan kejang, sesuai petunjuk dari artikel yang aku baca maka aku posisikan miring dan kujaga, tanpa bisa bertindak apapun hanya memandangi istriku kejang dalam ketidak berdayaan, setelah semua fase terlewati, seperti halnya kejang pertama, aku menganjurkan dia untuk periksa dokter keluarga nanti malam.

Dokter keluargaku dengan jaminan ASKES, dr. Taqwa Rini, memberi rujukan ke dokter syaraf di RS Kariadi Semarang. Esok paginya kami periksa di RS. Kariadi, di Pavilyun Garuda, dan aku memilih Prof. Amin Husni sebagai dokter spesialis syaraf. Pada pertemuan I dengan beliau ini, kami disuruh periksa MRI, karena MRI di RS Kariadi dalam kondisi perbaikan maka kami dibekali surat pengantar untuk melakukan pemeriksaan MRI di RS. Tlogorejo Semarang. Jam 13.00 kami sampai dan jam 15.00 kami dipanggil untuk melakukan pemeriksaan melalui peralatan MRI, setelah kami diberi penjelasan secukupnya, misalnya bahwa MRI adalah Magnetik maka kami tidak diperkenankan memakai segala perhiasan, alat komunikasi (HP), kesemuanya dimasukkan dalam locker,serta penjelasan bahwa bila nanti diperlukan ada tambahan contras maka akan dikenakan biaya tambahan dan kami manut saja, proses pemeriksa berlangsung hampir 1 jam, dengan penyuntikan kontras, istriku hanya berbaring diatas bidang periksa, yang mana atasnya ada lingkaran besar, sebentar-sebentar terdengan bunyi “tuk…tuk….tuuuuk…..”
Hasil pemeriksaan MRI baru dapat diambil 3 jam setelah periksa, tanpa pulang kami meneruskan pemeriksaan lanjutan di lab. CITO untuk periksa darah dan urine, jam 19.00 kami mengambil hasil test MRI, dengan hati berdebar kubuka sampul besar, ternyata berisikan 12 film persis roentgen dan sekeping CD, serta selembar surat hasil diagnosa yang ditujukan kepada Prof. Amien Husni. Sempat aku buka file tersebut dan kulihat.


Esoknya kami sampaikan hasil pemeriksaan MRI kepada Prof. Amien Husni, beliau berbisik padaku tanpa sepengetahuan istriku, “Harus operasi.”
“Ini saya kasih resep dan rujukan ke dokter Bedah Syaraf, Ya!” kata Prof. Amien.
“Baik Prof.” kataku, kemudian perawat mendaftarkan pada dokter bedah syaraf, kembali aku disuruh memilih dokter, dan aku mempercayakan dr. Erry Andhar untuk menanganinya, terlihat perawat menghubungi beliau dan beliau bersedia hadir ke RS Kariadi 2 jam lagi.

Dalam masa menunggu kehadiran dokter spesialis bedah syaraf, pikiran dan perasaanku tidak karuan, bingung memaknai kata-kata Prof. Amien. “OPERASI” ya, bagi sebagian orang termasuk keluarga kami kata-kata itu sangat menyengat dan menakutkan, karena memang belum pernah ada dalam keluarga kami yang mengalaminya, apalagi ini yang dioperasi adalah kepala.
Kesedihan dan kebingunganku terbaca oleh istriku, dia menanyakannya dan kujawab aku belum tahu pasti, tunggulah dokter Bedah Syaraf.
Setelah beberapa saat kami diam dr. Erri Andhar datang dan kamipun dipanggil oleh perawat, setelah melihat dan mengamati photo hasil MRI dan rujukan dari Prof. Amien Husni. Beliau berkata dihadapan kami berdua : “Operasi ya Bu!”.

Serta merta istriku menundukkan kepala, diam, shock.

“Nggak apa-apa, nggak terasa koq. Coba bu berbaring saya periksa.”
Dengan tertunduk lesu istriku melangkah menuju ‘dipan’ periksa.
“Tensi normal, aaah tenang aja, bu...” berkali-kali dokter menenangkan istriku seolah-olah ingin mengganti kesalahan ucapnya yang membuat pasien “shock”. Ya! Itu dilakukannnya berkali-kali bahkan beliau menambahkan satu resep untuk menekan pertumbuhan tumor, selama masa menunggu.
“Terima kasih, Dok” kataku.
“ Dan ini pengantar untuk pesan kamar.”

Setelah menyerahkan berkas pemeriksaan kepada perawat dokter mempersilahkan kami untuk mendaftar ruang di bagian informasi, dan kamipun berpamitan.

1 komentar: