Kejang kedua
9 Desember 2012
Malam itu kisaran pukul 04.00, selepas sholat subuh kudengar keluhan
dari istriku tentang tangan kirinya yang nggak terkontrol.
“Mas…maaaas tanganku, maaaas tanganku”, sambil mengangkat tangan
kirinya tinggi-tinggi.
Segera kususul ternyata dia sudah mulai menggelepar dan kejang,
sesuai petunjuk dari artikel yang aku baca maka aku posisikan miring dan kujaga,
tanpa bisa bertindak apapun hanya memandangi istriku kejang dalam ketidak
berdayaan, setelah semua fase terlewati, seperti halnya kejang pertama, aku
menganjurkan dia untuk periksa dokter keluarga nanti malam.
Dokter keluargaku dengan jaminan ASKES, dr. Taqwa Rini, memberi
rujukan ke dokter syaraf di RS Kariadi Semarang. Esok paginya kami periksa di
RS. Kariadi, di Pavilyun Garuda, dan aku memilih Prof. Amin Husni sebagai
dokter spesialis syaraf. Pada pertemuan I dengan beliau ini, kami disuruh
periksa MRI, karena MRI di RS Kariadi dalam kondisi perbaikan maka kami
dibekali surat pengantar untuk melakukan pemeriksaan MRI di RS. Tlogorejo
Semarang. Jam 13.00 kami sampai dan jam 15.00 kami dipanggil untuk melakukan
pemeriksaan melalui peralatan MRI, setelah kami diberi penjelasan secukupnya,
misalnya bahwa MRI adalah Magnetik maka kami tidak diperkenankan memakai segala
perhiasan, alat komunikasi (HP), kesemuanya dimasukkan dalam locker,serta
penjelasan bahwa bila nanti diperlukan ada tambahan contras maka akan dikenakan
biaya tambahan dan kami manut saja, proses pemeriksa berlangsung hampir 1 jam,
dengan penyuntikan kontras, istriku hanya berbaring diatas bidang periksa, yang
mana atasnya ada lingkaran besar, sebentar-sebentar terdengan bunyi
“tuk…tuk….tuuuuk…..”
Hasil pemeriksaan MRI baru dapat diambil 3 jam setelah periksa,
tanpa pulang kami meneruskan pemeriksaan lanjutan di lab. CITO untuk periksa
darah dan urine, jam 19.00 kami mengambil hasil test MRI, dengan hati berdebar
kubuka sampul besar, ternyata berisikan 12 film persis roentgen dan sekeping
CD, serta selembar surat hasil diagnosa yang ditujukan kepada Prof. Amien
Husni. Sempat aku buka file tersebut dan kulihat.
Esoknya kami sampaikan hasil pemeriksaan MRI kepada Prof. Amien
Husni, beliau berbisik padaku tanpa sepengetahuan istriku, “Harus operasi.”
“Ini saya kasih resep dan rujukan ke dokter Bedah Syaraf, Ya!” kata
Prof. Amien.
“Baik Prof.” kataku, kemudian perawat mendaftarkan pada dokter bedah
syaraf, kembali aku disuruh memilih dokter, dan aku mempercayakan dr. Erry
Andhar untuk menanganinya, terlihat perawat menghubungi beliau dan beliau
bersedia hadir ke RS Kariadi 2 jam lagi.
Dalam masa menunggu kehadiran dokter spesialis bedah syaraf, pikiran
dan perasaanku tidak karuan, bingung
memaknai kata-kata Prof. Amien. “OPERASI” ya, bagi sebagian orang termasuk
keluarga kami kata-kata itu sangat menyengat dan menakutkan, karena memang
belum pernah ada dalam keluarga kami yang mengalaminya, apalagi ini yang
dioperasi adalah kepala.
Kesedihan dan kebingunganku terbaca oleh istriku,
dia menanyakannya dan kujawab aku belum tahu pasti, tunggulah dokter Bedah
Syaraf.
Setelah beberapa saat kami diam dr. Erri Andhar
datang dan kamipun dipanggil oleh perawat, setelah melihat dan mengamati photo
hasil MRI dan rujukan dari Prof. Amien Husni. Beliau berkata dihadapan kami
berdua : “Operasi ya Bu!”.
Serta merta istriku menundukkan kepala, diam,
shock.
“Nggak apa-apa, nggak terasa koq. Coba bu
berbaring saya periksa.”
Dengan tertunduk lesu istriku melangkah menuju ‘dipan’
periksa.
“Tensi normal, aaah tenang aja, bu...”
berkali-kali dokter menenangkan istriku seolah-olah ingin mengganti kesalahan
ucapnya yang membuat pasien “shock”. Ya! Itu dilakukannnya berkali-kali bahkan
beliau menambahkan satu resep untuk menekan pertumbuhan tumor, selama masa
menunggu.
“Terima kasih, Dok” kataku.
“ Dan ini pengantar untuk pesan kamar.”
Setelah menyerahkan berkas pemeriksaan kepada
perawat dokter mempersilahkan kami untuk mendaftar ruang di bagian informasi,
dan kamipun berpamitan.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus