Sabtu, 10 September 2011

Kekhawatiran seorang teman.

Selepas Romadlon 1432H, dirasakan oleh seorang fakir ilmu, tentang perbedaan yang dirasakannya ketika mengisi hari-hari Romadlon dan betapa berat dia bayangkan hari kedepan dalam mengamalkan hasil renungan dan hasil pembelajaran selama Romadlon.

Biasanya, selepas sahur dia datang ke Masjid Agung untuk mendengarkan pengajian, walaupun terkantuk-kantuk bahkan tertidur, namun dia rasakan kedamaian yang menyejukkan, setelah pengajian selesai dan setelah mencium tangan pak Yai, dia ambil air wudlu dilanjutkan dengan sholat dhuha, sekitar jam 9 pagi baru dia meninggalkan masjid, untuk melaksanakan kewajibannya memenuhi nafkah anak dan istri.

Sekitar jam 11.30, dia tutup sementara warungnya, berbekal tas lusuh berisikan sarung lusuh dan baju koko’ lusuh pula, dan satu lagi terselip Al Quran yang tak kalah lusuhnya, entah berapa usianya dan berapa kali dibuka, dari kertasnya aku perkirakan usia Al Quran itu kisaran 20 tahunan, berangkatlah ke Masjid Agung, setelah melaksanakan serangkaian persiapan dan sholat sunah,  adzanpun berkumandang.

Sekali lagi, walau dengan terkantuk-kantuk bahkan sempat tertidur, selalu aktif ikut sema’an Quran yang dibawakan oleh kyai besar dimasjid Agung tersebut, seperti biasanya dia mengambik tempat Pilar kedua sebelah utara serambi masjid, tepat ditengah. CERDAS pikirku, dengan mengambil tempat disitu pandangan ke kyai kharismatik yang HAFIDZ Quran itu tidak terhalang namun tidak terlapau dekat, sehingga kalau kantuk tidak begitu kelihatan, dan itupun pilihanku, selalu dia duduk disebelahku.

Sema’an Quran selesai sebelum adzan Sholat Ashar, dan selepas sholat biasanya dia sempatkan tadarus Quran dengan Juzz dan ayat yang dibacakan oleh pak Kyai tadi, setelah itu baru dia kembali ke warung, mungkin sekitar jam 4 sore dan jam 5 sore lebih seperempat warung ditutup, pulang.

Kami biasanya ketemu kembali jam 10 malam di pondok pesantrennya pak Kyai, yang tiap habis sholat dhuhur melakukan sema’an Quran, berbeda dengan siang hari, kalau malam pak kyai melakukan pengajian kitab, untuk tahun ini beliau mengambil kitab Ihya’ ulumuddin karangan imam Ghozali ra, padahal kami mengharap beliau akan menkaji kita al hikamnya ibnu athoilah, seperti tahun-tahun kemarin, karena ceritanya  pelengkapnya heboh dan memberi semangat, namun kami tak akan menolak, bagi kami apapun kitab yang akan dikaji dan apakah kami sudah pernah atau belum, sangat menyenangkan bisa mengisi harihari puasa seperti ini.

Pengajian kitab biasanya selesai tengah malam, dan seperti biasa aku tawari tumpangan selalu menolak lebih memilih naik sepeda onthel miliknya yang sudah berkarat, terus terang aku tak tahu apa yang dilakukan oleh bapak itu setelah pulang dari pondok pesantren, apakah langsung tidur apa qiyamul lail, atau apa. Namun aku berbaik sangka pada beliau pasti tidak langsung tidur.

Dan cerita ini saya ambil dari kisah beliau yang masih saja mengaku FAKIR ILMU, membuat saya tertohok tak berdaya.

Terus terang saja nak, beliau menjelaskan, dari pengajian-pengajian yang pernah saya ikuti, saya sangat terkesan oleh kesimpulan seorang Kyai yang menyatakan bahwa puncak tertinggi jabatan seorang manusia adalah HAMBA ALLAH, bahkan Nabi Muhammad SAW pun dalam melaksanakan Isro’ Mi’roj, yang merupakan peristiwa fenomenal itu, posisi beliau tak lebih dari seorang HAMBA.  Kata pak Kyai itu dapat dibuktikan di AlQuran, namun saya nggak tahu surat apa dan ayat berapa?
Terus terang saja, saya ngaji Alquran dari kecil sampai sekarang , masih belum paham arti dan makna yang terkandung dalam AlQuran, sehingga saya kadang lupa kisah Isro’ Mi’roj itu di surat apa dan ayat berapa? Bahkan saya punya teman sangat ekstrem terhadap Al Quran, kapan-kapan saya kenalkan. Oleh-oleh seorang hamba  Allah yang mulia dari sebuah perjalanan Isro’ wal Mi’roj adalah SHOLAT dan mungkin hanya ibadah mental dan fisik sholatlah yang mampu dilaksanakan oleh semua umat, dan diwajibkan untuk semua manusia beriman tanpa kecuali, dan sholat merupakan manifestasi seorang hamba Allah kepada Robb-Nya.

Dengan menjadi HAMBA dan memahami posisi kita sebagai HAMBA, hidup kita akan terasa tenang dan tenteram, dan pada akhirnya makna khalifah akan kita raih.

Khalifah itu sebenarnya adalah seseorang HAMBA ALLAH yang mampu menterjemahkan dan kemudian menerapkan dalam kehidupan sehari-hari, nama-nama yang diajarkan Robb Al Alamin kepada HAMBA ALLAH, dan HAMBA ALLAH yang pertama kali diajarkan nama-nama itu adalah nabi Adam AS.

Dengan menjadi hamba Allah secara utuh, seolah-olah kita menjadi pipa yang tersalurkan dari sebuah menara air, kalo menara air itu berisi air rasa “Rohman” maka kita akan menyalurkan rasa Rohman itu pada sesama atau pada yang membutuhkan, Kalo menara air itu berisi air “Rejeki” ya, rejekilah yang akan kita salurkan pada sesama, dan andaikata berisi air rasa “Ghofur”, ya kita harus mampu menyalurkan maaf kepada sesama.

Nak, ada beberapa Kyai yang mengartikan sesama atau yang membutuhkan itu secara lebih luas tidak hanya pada Manusia saja, namun sesama makhluk. Ya semua makhluk ciptaan Allah SWT. Tidak terbatas pada golongan.

Nak, hari-hari kemarin dimana kita duduk berdampingan, walau sebelumnya kita tidak saling mengenal, adalah hari-hari indah yang tak akan aku sia-siakan, dimana kita benar-benar bisa merasakan sebagai hamba Allah sejati, kalau tidak terbatasi dengan kelemahan fisikku ini, ingin rasanya tiap detik bercumbu dengan  Allah SWT, malam lewat qiyamul Lail, tadarus, sema’an, pengajian dan dzikir.

Kekhawatiranku, akankah aku sanggup mempertahankan rasa nikmatnya bercengkrama denganNya pada bulan selanjutnya, mampukah saya mempertahankan rasa perintah Allah sebagai suatu nikmat, mampukah saya mempertahankan rasa menjadi HAMBA itu suatu kemuliaan yang sangat besar.

Nak, lihatlah sekeliling kita, telah banyak jebakan yang mengepung kita, dan itu akan meningkat  11 bulan kedepan, semakin hari semakin bertambah saja godaan yang akan kita hadapi, walaupun aku selalu memohon diberi kekuatan dalam menghadapinya, namun kadang hati ini sering terpeleset.

Tidak hanya itu, Nak. Tanggung jawabku tentang amanah Allah berupa anak itulah yang aku khawatirkan, anak-anakku  lebih senang nonton sinetron atau acara lain di TV selepas Maghrib, dibanding membaca atau tadarus AlQuran, mereka lebih mengidolakan artis dibanding Nabinya, mereka lebih tanggap bila nada panggil Hpnya berbunyi dibandingkan dengan kumandang adzan, mereka lebih suka bangun tengah malam hanya untuk acara sepakbola di TV dibanding tahajud. Saya sudah menasihati , mengajak, memberi contoh, bahkan seringnya memerintah untuk segera melaksanakan kebaikan berupa sholat, dan baca Quran, bahkan saya bikin aturan HARAM TV hidup antara Maghrib sampai Isya’. Nampaknya semakin sulit saja, setelah ada HP.

Coba perhatikan Nak, akankah Masjid Agung seramai kemarin waktu Romadlon? Akankah AlQuran di almari itu jadi rebutan? Itu Masjid Agung nak, yang masjid kampung nasibnya terus bagaimana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar